![]() |
| Foto Inilah.com |
Dilipost.com— Suatu pagi yang biasa, saya membaca berita yang terasa asing. Bukan karena isinya mengejutkan, melainkan karena nadanya janggal lantaran terlalu datar, terlalu sempurna, tanpa jejak manusia. Ternyata, berita itu ditulis oleh mesin.
Beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) telah mengambil alih banyak peran di ruang redaksi. Ia bisa menyalin gaya tulisan, menyusun berita dari data, bahkan merangkum pidato politikus tanpa perlu mendengarnya sampai habis.
Dalam hitungan detik, ia menghasilkan artikel yang rapi dan sesuai selera mesin pencari. Tapi justru karena itulah kita patut khawatir.
AI tidak datang untuk menggantikan jurnalis. Ia datang untuk mengubah siapa yang disebut jurnalis. Dan di situlah letak persoalan besar.
Mesin yang Tak Punya Nurani
Di Amerika Serikat, BuzzFeed dan CNET pernah menggunakan AI untuk menulis artikel ringan. Beberapa di antaranya harus ditarik kembali karena kesalahan faktual. Tapi itu tak menghentikan tren.
Di Indonesia, gejalanya mulai tampak. Ada media daring yang menyalin siaran pers dan membiarkannya disusun ulang oleh mesin. Tak ada redaktur, tak ada verifikasi, hanya klik dan terbit.
Masalahnya bukan pada teknologi. Masalahnya pada cara berpikir yang mulai menganggap jurnalisme cukup ditangani oleh perangkat lunak.
Padahal, yang membuat jurnalisme hidup bukanlah kecepatan atau keteraturan, melainkan keberanian untuk menyelidiki, empati untuk mendengar, dan keberpihakan kepada yang tak terdengar.
AI tak mengenal risiko. Ia tak tahu bagaimana rasanya duduk berjam-jam bersama korban kekerasan seksual yang takut mengungkap nama pelaku. Ia tak bisa membaca kerutan di wajah seorang ibu yang anaknya hilang karena konflik lahan.
Ia tak akan tahu pentingnya menyebut nama lengkap seorang narasumber, atau mengapa satu kata bisa menyelamatkan atau menghancurkan reputasi seseorang.
Jurnalisme, sejak awal, bukan sekadar pekerjaan menyusun informasi. Ia adalah kerja nurani.
Bukan Korban, Tapi Penuntun
Namun jurnalisme juga tak bisa hanya meratap. AI tak bisa ditolak seperti badai. Ia akan datang, masuk ke ruang-ruang redaksi, dan menawar efisiensi. Maka, yang harus kita rebut bukan alatnya, tapi arah penggunaannya.
Jurnalisme bisa, dan seharusnya, memengaruhi cara AI bekerja. Karena mesin belajar dari data, dan sebagian besar data itu berasal dari kerja jurnalistik, seperti, artikel, wawancara, laporan mendalam.
Maka jurnalis dan redaktur perlu ikut dalam pembentukan sistem, memberi bobot etika pada algoritma, dan memastikan bahwa nilai-nilai dasar—verifikasi, keberimbangan, atribusi—ikut diwariskan kepada model bahasa besar.
Tanpa itu, AI akan menjadi alat yang berbahaya sebab mempercepat disinformasi, melanggengkan bias, dan meniru bentuk jurnalisme tanpa substansi.
Simbiosis yang Layak Dinegosiasikan
Hubungan jurnalisme dan AI memang tak harus antagonistik. AI bisa membantu mengurai dokumen hukum yang rumit, memetakan jaringan kekuasaan dari ribuan data pengadaan, atau mengenali pola hoaks sebelum ia viral. Tapi mesin harus tetap menjadi alat, bukan pengganti jurnalis.
Pekerjaan jurnalis adalah menyaksikan. Dan kesaksian tak bisa dibebankan kepada entitas yang tak pernah mengalami. Mesin tak tahu aroma ruang pengadilan. Ia tak merasa detak jantung yang meningkat saat mewawancarai pejabat korup.
Ia juga tak memahami makna diam panjang seorang saksi yang enggan berkata jujur.
Dalam bahasa Albert Camus: “Peran seorang penulis bukan untuk berpihak pada mereka yang membuat sejarah, tetapi pada mereka yang menderita karenanya.”
Jurnalisme, seperti sastra, berdiri di sisi yang lemah. AI, tanpa kendali etika, akan selalu berpihak pada yang kuat—karena data besar selalu milik mereka yang punya sumber daya.
Siapa Menulis Masa Depan?
Pada akhirnya, yang kita pertaruhkan bukan sekadar profesi, melainkan masa depan pengetahuan. Jika semua konten disusun oleh AI yang belajar dari konten lama, lalu siapa yang akan menulis hal-hal baru? Jika AI hanya mengulang data masa lalu, siapa yang akan membongkar ketimpangan hari ini?
Jawaban itu tak bisa diserahkan kepada mesin. Ia harus ditemukan oleh manusia yang masih percaya bahwa kebenaran bukan sekadar akurasi, tapi juga keadilan.
Dan jurnalisme, dalam bentuk terbaiknya, adalah upaya terus-menerus untuk membuat keadilan terasa mungkin—meski hanya lewat satu paragraf yang tak bisa ditulis oleh mesin mana pun. (*)


FOLLOW THE dilipost.com AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow dilipost.com on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram